Sejarah Orang Eropa di Bandung

Dijual Buku Antik dan Langka


bandung tempo dulu
SUASANA PERAYAAN HARI PERNIKAHAN RATU JULIANA
DI PERTIGAAN ANTARA JALAN BRGA DAN JALAN ASIA-AFRIKA
FOTO DIBUAT PADA 7 JANUARI 1931



       " Aen een negrije genaemt Bandong
         bestaende uitjt 25 a 30 huysen"
       
            (Juliaen de Silva 1641)


Ada sebuah negeri yang bernama Bandong  (Bandung) yang terdiri atas 25 sampai 30 rumah, demikian tulis seorang Mardjijker (mata-mata Belanda) bernama Juliaen de Silva pada tahun 1641, dengan menggunakan bahasa Belanda kuno.

Menurut frof.Dr. E.C. Godee Molsbergen (1935), Landsarchivaris (arsip negara) di Batavia : dari data yang pernah ditemukan, Juliaen de Silva mungkin orang asing pertama yang datang ke Tatar Bandung. Yang di kala itu, lebih dikenal oleh pemerintah Belanda dengan sebutan Negorij Bandong atau West Oejoeng Broeng.

Di kalangan penduduk pribumi sendiri, wilayah Bandung pada abad ke-17 sering di sebut  Tatar Ukur . Salah seorang pemimpinnya pada saat itu bernama Wangsanata alias Dipati Ukur.
 Pada tahun 1628, bersama Tumenggung Bahureksa, Dipati Ukur diserahi tugas oleh Sultan Agung Mataram, untuk menggempur benteng Kompeni Belanda di Batavia.

Karena peristiwa itulah, penguasa Kompeni Belanda Di Batavia yang semula kurang begitu memperhatikan Tatar Ukur, mulai menaruh curiga, jangan-jangan daerah yang masih terbilang terra incognita (daerah tak bertuan) itu bisa jadi sarang pemberontak, yang sewaktu-waktu bisa mengganggu kedudukannya di Batavia.

Demi kewaspadaan nasional, kehadiran Juliaen de Silva ke Tatar Ukur, patut dicurigai sebagai mata-mata Kompeni Belanda. Memang cukup beralasan untuk mencurigai orang-orang Mardijker seperti Juliaen de Silva , karena mereka terkenal dengan sebutan anjing setia Kompeni.

Lewat penuturan Dr.Soekanto 1954, bahwa Mardijker yang ada di Batavia berasal dari India. mereka sering disebut christen-swarten atau kristen hitam. Sejak pengepungan kota Batavia pada tahun 1619, mereka berdiri di pihak Kompeni. pada tahun 1626 si hitam (swarten) bersama orang-orang  Belanda  tercatat sebagai schuttersrol semacam hansip. Tatkala Batavia dikepung pasukan Mataram pada 1628, para Mardijkers ikut membantu Belanda. Caldero lah seorang mardijker yang ditunjuk Belanda menjadi  opperhoft van de swarten di Batavia pada tahun 1629.

 Seorang Mardijker adalah 100 persen  asli darah asia. Anak-anak Mardijkers bila dibaptis (gedopt), sering sekali menerima nama bapak baptisnya, yang umumnya adalah tuan  mereka sendiri, yaitu orang Portugis. Oleh sebab itu kebanyakan nama orang Mardijkers berbau Portugis.

Istilah Mardijkers ternyata tidak ada sangkut-pautnya dengan bahasa Belanda dijk yang berarti tanggul atau pematang sawah. Akan tetapi justru ada hubungannya dengan bahasa Sansekerta yaitu Mahardika, yang disingkat menjadi mardika atau merdeka. Jadi, Mardijkers adalah orang-orang yang bebas merdeka (vrijgelatene) bukan budak belian lagi.

Semenjak kedatangan mata-mata de Silva di tahun 1641 , secara berkala kasteel van Batavia (Benteng Kompeni) mengirim mata-matanya ke daerah Tatar Ukur untuk memata-matai kalau-kalau ada pemberontakan terhadap Kompeni. Yang kala itu kekuatan kompeni Belanda masih lemah.

Lewat catatan-catatan van Riebeek, barulah Kompeni Belanda menyadari akan potensi Wilayah Tatar Ukur.
Namun baru 30 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1741, Kompeni Belanda menempatkan soldadunya di Tatar Bandung(Tatar Ukur).

Hanya  seorang ada soldadu yang ada pada saat itu, Arie Top namanya, pangkatnya pun tidak tingi hanya Kopral  tapi jabatannya cukup tinggi , yaitu : In de functies van plaatselijk militair commandant (Dalam pungsi komamandan militer yang menetap disuatu daerah).

Kalau sekarang tugas Kopral Arie Top ini kira-kira sama dengan Bintara pembina Desa(Babinsa). Namun wilayah kekuasaannya, hampir meliputi daerah Scogar Bandung-Cimahi.
Kopral Arie tercatat sebagai orang kulit putih pertama yang menjadi warga Tatar Bandung (Bandoengers).

Setahun kemudian(1742) warga Eropa yang tinggal di Bandung meningkat 300 persen. Yaitu dengan kedatangan 3 orang Belanda lainnya. mereka adalah kakak-beradik Ronde dan Jan Geysbergen. Sedangkan yang satunya lagi adalah seorang Kopral Kompeni, tidak jelas namanya, yang jelas buangan dari Batavia.
Bagaimana sampai mereka dibuang ke Bandung?

Ya, tentu saja ! karena Tatar Bandung di pertengahan abad ke-18 itu masih berupa hutan rimba, alas gung liwang-liwung ,top badak top maung  kata orang Sunda, jalmo moro jalmo mati, yang namanya Situ Hiyang atau Danau Bandung, airnya masih menggenangai beberapa tempat di Bandung yang merupakan danau-danau kecil. Sedang lahan selebihnya masih berpaya-paya.

Katakan ,tatar Bandung waktu itu masih merupakan Neraka. Suatu wilayah yang ideal untuk pembuangan penjahat, sildadu atau penjahat dan pegawai pemerintah yang membuat kesalahan besar.

Menurut penuturan almarhum Opa Buitenweg, yang belum lama  meninggal Di Wassenaar Holland dalam usia 90 tahun: konon di tahun 1742, seorang kopral Kompeni Belanda yang ketahuan atasannya, suka cong ti pauw"(nipu) dan sering  liong sep (korupsi), telah dibuang ke Neraka Bandung sebagai hukuman.

Para Hoge Heren (penggede)di Batavia menyangka Si Kopral koruptor dibuang ke Neraka Bandung cepat atau lambat bakal mati! paling tidak sengsara sepanjang hidupnya. Akan tetapi bagaimana kenyataanya? justru sebaliknya! rupanya si Kopral kompeni tukang seleweng ini punya jiwa wiraswasta. Dibantu oleh kakak-beradik Jan dan Ronde Geibergen, ia membuka hutan,berkebun dan mendirikan perusahaan penggergajian kayu di Tatar Bandung. Sebentar saja ia jadi kaya raya. Jadi Tuan Tanah di Tatar Bandung yang makmur sejahtera terleha-leha! seakan-akan hidup di Sorga dalam pengasingan".

Nah, sejak pertengahan abad ke-18 itulah, kemudian wilayah Bandung mulai terkenal dan dijuluki orang luar, sebagai Paradise In Exile (sorga dalam pembuangan). Kemudian berduyun-duyunlah para petualang bangsa Eropa lainnya, untuk mengadu nasib di Tatar Bandung.

Akhirnya yang kewalahan adalah Kopral Arie Top, yang menjadi penguasa militer di wilayah itu. ia mengirim laporan kepada atasannya di Batavia, mengadukan tingkah-polah rekannya sesama Kopral,yang sukses berwiraswasta, agar dibuang ke tempat lain. Demikian pula agar dicegah masuknya para petualang Eropa ke Daerah Priangan(Tatar Sunda).

Karena birokrasi pemerintah Kompeni Belanda, laporan Kopral Arie Top baru mendapat perhatian Gubernur jendral Hindia-Belanda, hampir seabad kemudian. Sumber : Wajah Bandoeng Tempo Doeloe 1884 oleh Haryoto Kunto.


  

Sumber:wajah Bandoeng Tempo Doeloe.Haryoto Kun
Dijual Buku Antik dan Langka Sastra Sejarah Dll
Dijual Majalah Cetakan Lama
Dijual Buku Pelajaran Lawas

Postingan terkait

Saya JAY SETIAWAN
tinggal di kota Bandung. Selain iseng menulis di blog, juga menjual buku-buku bekas cetakan lama. Jika sahabat tertarik untuk memiliki buku-buku yang saya tawarkan, silahkan hubungi Call SMS WA : 0821 3029 2632. Trima kasih atas kunjungan dan attensinya.

Sejarah Orang Eropa di Bandung

Posting Komentar